Sunday, May 14, 2017

Pelaporan Farmakovigilans


Artikel ini saya tulis berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Perkabadan) Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans bagi Industri Farmasi, tepatnya di bagian Petunjuk Teknis. Karena sudah menyimak artikel Q&A: Farmacovigilas, berarti sudah punya softcopy Perkabadan tersebut kan? Kalau belum, silakan download disini.



1. Pelaporan Spontan Kejadian Tidak Diinginkan (Spontaneous Adverse Events Reporting)

Kejadian tidak diinginkan (KTD) yang dimaksud disini adalah kejadian yang tidak termasuk dalam rangka penelitian atau pemantauan yang direncanakan. Ada dua macam KTD yaitu KTD serius dan KTD non-serius. KTD serius dan non-serius terbagi dua lagi yaitu yang terduga (expected) dan yang tidak terduga (unexpected). Tiap-tiap KTD tersebut dibagi dua lagi, yaitu yang terjadi di dalam negeri dan di luar negeri. KTD yang dikatakan serius adalah KTD berupa kematian, keadaan yang mengancam jiwa, membutuhkan perawatan di rumah sakit, menyebabkan perpanjangan waktu perawatan di rumah sakit, menyebabkan cacat tetap, timbulnya kelainan kongenital, dan kejadian medis penting lainnya.

KTD serius, baik expected maupun unexpected, baik di dalam maupun di luar negeri, harus dilaporkan ke BPOM paling lambat 15 hari kalender setelah kejadian diketahui. Pelaporan dilakukan menggunakan Formulir Pelaporan Spontan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) oleh Industri Farmasi (Lampiran 2) untuk kejadian di dalam negeri dan formulir CIOMS (lampiran 3) untuk kejadian di luar negeri.

KTD non-serius (unexpected) wajib dilaporkan ke BPOM enam bulan sekali (Januari dan Juli) menggunakan Tabel Pelaporan KTD Non-Serius (Lampiran 4).

KTD non-serius (expected, dalam negeri) dan KTD non-serius (unexpected, luar negeri) tidak perlu dilaporkan ke BPOM.

Jika tidak ada laporan spontan KTD, industri farmasi harus membuat laporan nihil (zero report).
Ketentuan di atas adalah ketentuan pelaporan KTD yang disebabkan oleh penggunaan obat. Untuk KTD yang disebabkan oleh imunisasi, namanya Pelaporan Spontan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Laporan KIPI dibagi dua, yaitu laporan KIPI serius dan laporan KIPI non-serius.
Laporan KIPI serius berupa kematian harus dilaporkan ke BPOM paling lambat 24 jam sebagai laporan awal dan paling lambat 15 hari kalender untuk laporan lengkapnya.

Ketentuan mengenai pelaporan KIPI serius yang tidak dinginkan selain kematian, dapat dilihat dalam tabel di Lampiran 5. Pelaporan dilakukan menggunakan Formulir Pelaporan KIPI (Lampiran 6).
Laporan KIPI non-serius wajib dilaporkan ke BPOM 6 bulan sekali (Januari dan Juli) menggunakan Tabel Pelaporan KIPI Non-Serius yang Terjadi di Indonesia (Lamporan 7).

2. Pelaporan Berkala Pasca Pemasaran (Periodic Safety Update Report (PSUR))

PSUR dilaporkan ke BPOM 6 bulan sekali selama 2 tahun pertama dan setiap tahun selama 3 tahun berikutnya setelah disetujui beredar di Indonesia.
Obat yang wajib dilaporkan adalah obat dengan zat aktif baru, termasuk produk biologi sejenis (similar bio-therapeutic product) dan obat lain yang ditetapkan oleh Kepala BPOM.

Format PSUR:
- Ringkasan eksekutif
- Pendahuluan
- Status peredaran
- Data mutakhir tentang tindak lanjut regulatori terkait keamanan oleh pemerintah/pemegang izin edar
- Perubahan informasi keamanan
- Data pasien terpapar
- Riwayat kasus individu (list dan tabel summary), termasuk diskusi kasus individual jika perlu
- Hasil studi, jika ada
- Informasi lain yang berkaitan dengan efikasi dan atau keamanan obat
- Informasi keamanan menyeluruh (overall safety information)
- Kesimpulan

3. Pelaporan Studi Keamanan Pasca Pemasaran

Laporan ini dibuat untuk obat yang dalam persetujuan izin edar dipersyaratkan untuk melakukan studi keamanan pasca pemasaran, atau untuk obat yang sudah beredar dan dipersyaratkan untuk pelaporan dalam rangka perencanaan manajemen risiko.

4. Pelaporan Publikasi/Literatur Ilmiah

Informasi dari literatur ilmiah terkait profil manfaat-risiko harus dilaporkan segera setelah mengetahui literatur tersebut dengan melampirkan literatur ilmiah tersebut.

5. Pelaporan Tindak Lanjut Regulatori Badan Otoritas Negara Lain

Misalnya untuk obat yang dibekukan atau dibatalkan izin edarnya oleh negara lain. Pelaporan awal harus dilakukan ke BPOM paling lambat 24 jam setelah informasi diterima.

6. Pelaporan Tindak Lanjut Pemegang Izin Edar di Negara Lain

Apapun kebijakan yang diambil oleh pemegang izin edar di negara lain setelah menerima tindak lanjut regulatori badan otoritas dari negara tersebut, harus dilaporkan ke BPOM paling lambat 24 jam setelah informasi diterima.

7. Pelaporan Pelaksanaan Perencanaan Manajemen Risiko Mutu

Hal ini mengikuti regulasi terkait manajemen risiko mutu, misalnya dalam CPOB.



Demikian yang dapat saya share mengenai pelaporan farmakovigilans. Apabila ada yang kurang, mohon ditambahkan di kolom komentar. Jangan lupa share ke teman sejawat lain yang membutuhkan. Dan tentunya jangan lupa follow instagram @apotekeroke. Medsos yang digunakan oleh @apotekeroke hanya Instagram. Tidak ada akun di medsos lain.

No comments:

Post a Comment