Artikel ini saya tulis
berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Perkabadan) Republik Indonesia
Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans bagi
Industri Farmasi, tepatnya di bagian Petunjuk Teknis. Karena sudah menyimak artikel Q&A: Farmacovigilas, berarti sudah punya softcopy Perkabadan tersebut kan? Kalau belum, silakan
download disini.
1. Pelaporan Spontan Kejadian Tidak Diinginkan (Spontaneous Adverse Events Reporting)
Kejadian tidak diinginkan (KTD)
yang dimaksud disini adalah kejadian yang tidak termasuk dalam rangka
penelitian atau pemantauan yang direncanakan. Ada dua macam KTD yaitu KTD
serius dan KTD non-serius. KTD serius dan non-serius terbagi dua lagi yaitu
yang terduga (expected) dan yang
tidak terduga (unexpected). Tiap-tiap
KTD tersebut dibagi dua lagi, yaitu yang terjadi di dalam negeri dan di luar
negeri. KTD yang dikatakan serius adalah KTD berupa kematian, keadaan yang
mengancam jiwa, membutuhkan perawatan di rumah sakit, menyebabkan perpanjangan
waktu perawatan di rumah sakit, menyebabkan cacat tetap, timbulnya kelainan
kongenital, dan kejadian medis penting lainnya.
KTD serius, baik expected maupun unexpected, baik di dalam maupun di luar negeri, harus dilaporkan
ke BPOM paling lambat 15 hari kalender setelah kejadian diketahui. Pelaporan
dilakukan menggunakan Formulir Pelaporan Spontan Kejadian Tidak Diinginkan
(KTD) oleh Industri Farmasi (Lampiran 2) untuk kejadian di dalam negeri dan
formulir CIOMS (lampiran 3) untuk kejadian di luar negeri.
KTD non-serius (unexpected) wajib dilaporkan ke BPOM
enam bulan sekali (Januari dan Juli) menggunakan Tabel Pelaporan KTD Non-Serius
(Lampiran 4).
KTD non-serius (expected, dalam negeri) dan KTD
non-serius (unexpected, luar negeri)
tidak perlu dilaporkan ke BPOM.
Jika tidak ada laporan spontan
KTD, industri farmasi harus membuat laporan nihil (zero report).
Ketentuan di atas adalah
ketentuan pelaporan KTD yang disebabkan oleh penggunaan obat. Untuk KTD yang
disebabkan oleh imunisasi, namanya Pelaporan Spontan Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi (KIPI). Laporan KIPI dibagi dua, yaitu laporan KIPI serius dan
laporan KIPI non-serius.
Laporan KIPI serius berupa
kematian harus dilaporkan ke BPOM paling lambat 24 jam sebagai laporan awal dan
paling lambat 15 hari kalender untuk laporan lengkapnya.
Ketentuan mengenai pelaporan KIPI
serius yang tidak dinginkan selain kematian, dapat dilihat dalam tabel di
Lampiran 5. Pelaporan dilakukan menggunakan Formulir Pelaporan KIPI (Lampiran
6).
Laporan KIPI non-serius wajib
dilaporkan ke BPOM 6 bulan sekali (Januari dan Juli) menggunakan Tabel
Pelaporan KIPI Non-Serius yang Terjadi di Indonesia (Lamporan 7).
2. Pelaporan Berkala Pasca Pemasaran (Periodic Safety Update Report (PSUR))
PSUR dilaporkan ke BPOM 6 bulan
sekali selama 2 tahun pertama dan setiap tahun selama 3 tahun berikutnya
setelah disetujui beredar di Indonesia.
Obat yang wajib dilaporkan adalah
obat dengan zat aktif baru, termasuk produk biologi sejenis (similar bio-therapeutic product) dan
obat lain yang ditetapkan oleh Kepala BPOM.
Format PSUR:
- Ringkasan eksekutif
- Pendahuluan
- Status peredaran
- Data mutakhir tentang tindak lanjut regulatori
terkait keamanan oleh pemerintah/pemegang izin edar
- Perubahan informasi keamanan
- Data pasien terpapar
- Riwayat kasus individu (list dan tabel summary),
termasuk diskusi kasus individual jika perlu
- Hasil studi, jika ada
- Informasi lain yang berkaitan dengan efikasi dan
atau keamanan obat
- Informasi keamanan menyeluruh (overall safety information)
- Kesimpulan
3. Pelaporan Studi Keamanan Pasca Pemasaran
Laporan ini dibuat untuk obat
yang dalam persetujuan izin edar dipersyaratkan untuk melakukan studi keamanan pasca
pemasaran, atau untuk obat yang sudah beredar dan dipersyaratkan untuk
pelaporan dalam rangka perencanaan manajemen risiko.
4. Pelaporan Publikasi/Literatur Ilmiah
Informasi dari literatur ilmiah
terkait profil manfaat-risiko harus dilaporkan segera setelah mengetahui
literatur tersebut dengan melampirkan literatur ilmiah tersebut.
5. Pelaporan Tindak Lanjut Regulatori Badan Otoritas Negara Lain
Misalnya untuk obat yang
dibekukan atau dibatalkan izin edarnya oleh negara lain. Pelaporan awal harus
dilakukan ke BPOM paling lambat 24 jam setelah informasi diterima.
6. Pelaporan Tindak Lanjut Pemegang Izin Edar di Negara Lain
Apapun kebijakan yang diambil
oleh pemegang izin edar di negara lain setelah menerima tindak lanjut
regulatori badan otoritas dari negara tersebut, harus dilaporkan ke BPOM paling
lambat 24 jam setelah informasi diterima.
7. Pelaporan Pelaksanaan Perencanaan Manajemen Risiko Mutu
Hal ini mengikuti regulasi
terkait manajemen risiko mutu, misalnya dalam CPOB.
Demikian yang dapat saya share mengenai pelaporan
farmakovigilans. Apabila ada yang kurang, mohon ditambahkan di kolom komentar.
Jangan lupa share ke teman sejawat
lain yang membutuhkan. Dan tentunya jangan lupa follow instagram @apotekeroke.
Medsos yang digunakan oleh @apotekeroke hanya Instagram. Tidak ada akun di
medsos lain.
No comments:
Post a Comment